RATRI
Ratri masih tertegun memandangi amplop cokelat bertuliskan vakasi. Dengan tangan bergetar, ia membuka amplop cokelat itu perlahan. Ditariknya lembaran uang seratus ribu sebanyak tiga lembar dari dalam amplop. Nominal uang yang cukup besar bagi seorang Ratri. Ia masukkan kembali uang itu ke dalam amplop. Dalam pikirannya berkecamuk banyak hal. Mau ia gunakan untuk apa uang itu? Ia tak mau mengotori dirinya dengan uang yang kalau tak mau dikatakan halal, berarti bisa dikatakan uang hasil “mencuri”. Tapi mencuri apa??? Salahkah Ratri bila menerima uang itu? Salahkah Ratri bila terpaksa menggunakan uang itu untuk membeli susu anaknya??? Kembali ingatan Ratri melayang pada kejadian 2 bulan lalu.
***
“ Bu Ratri, saya harap Ibu besok Senin datang lebih pagi dari biasanya Bu... ada tugas khusus yang harus Ibu laksanakan Bu” begitu instruksi yang ia terima dari pimpinan sekolah yang sekaligus pimpinan yayasan dimana Ratri membagikan ilmunya pada anak-anak.
“ Baik Pak. Jam berapa saya harus sampai di sekolah Pak?”
“ Ya....sekitar jam lima pagi Bu.”
“oh......(sambil berpikir apa yang akan dimandatkan padanya) , iya Pak”
Hanya itu yang bisa Ratri ucapkan sebagai tanda loyalitasnya pada pimpinan yayasan yang telah memperkenankan dia mengajar di sekolahan yang tidak begitu besar semenjak semester ganjil tahun lalu. Bagaimana ia tak berterimakasih, kalau ia tak bekerja dengan penuh ketekunan, mau dapat uang dari mana lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan anak semata wayangnya. Ia adalah seorang janda yang suaminya meninggal hampir setahun lalu. Suaminya yang seorang guru tak tetap itu hanya mewariskan harta yang tidak mewah di saat jaman sekarang untuk membesarkan seorang anak mereka. Ratri kembali bangkit menata hidupnya yang sempat goyah. Bermodalkan ijazah keguruan dari universitas negeri di ibukota provinsi yang dulu mempertemukan dia dengan suaminya itu, ia mulai mencari-cari sumber rejeki dari sekolah satu ke sekolah lain untuk menjadi seorang tenaga pengajar. Demi anaknya dan demi kelangsungan hidupnya. Hingga akhirnya sekolah inilah SMA BINA MORAL BANGSA yang menerimanya karena kebetulan guru perempuan yang dulu mengampu mata pelajaran bahasa inggris di sekolah tersebut diberhentikan secara tidak terhormat akibat melanggar norma sosial dan norma agama, pelanggaran berpacaran dengan salah seorang siswa sekolah inilah yang membuat murka para orang tua siswa dan akhirnya mereka berbondong-bondong mendemo oknum guru itu.
Malam Senin, Ratri tak bisa tidur karena menerka-nerka tugas apa yang hendak ia terima besok pagi sampai harus berangkat lebih awal dari biasanya. Ia memandang si kecil yang tertidur dengan pulasnya, besok pagi-pagi sekali ia harus menitipkan anaknya pada tetangga rumah yang dibayar Rp.7000,-/hari untuk mengasuh si kecil berusia tiga tahun itu mulai jam enam pagi sampai jam dua siang nanti. Harusnya minggu ini ia tak perlu mengeluarkan uang untuk menitipkan si kecil pada si mbok pengasuh, ia berpikir minggu ini ia tak perlu berangkat ke sekolah karena minggu ini ia tak mengajar lagi, siswa kelas XII yang dia ampu sedang menempuh ujian nasional mulai Senin besok. Tapi ternyata pimpinan sekolah menghendaki ia berangkat besok pagi untuk melaksanakan tugas yang diinstruksikan kepadanya. Tugas apa yang besok harus dia kerjakan ya.... akh... mungkin dia diminta membantu Bu Puji yang menjadi panitia ujian untuk menyiapkan konsumsi besok.... begitu prasangka terakhir yang ia pikirkan sebelum terlelap memeluk si kecil.
***
Senin subuh, Ratri menyerahkan si kecil dari gendongannya pada mbok Binah. Sekali lagi Ratri menciumnya. Sambil menyalakan motor butut peninggalan suaminya berwarna merah marun yang cat bodi samping kanan sudah mulai memudar dan mengeluarkan asap saat motor diajak ngebut dan nyaring terdengar suara baut yang sudah hampir lepas dari tempatnya menancap, ia masih sempat meninggalkan pesan pada mbok Binah agar membuatkan susu yang ia bawakan dalam tas si kecil. Si kecil Nakula sudah kembali terlelap nyenyak di pelukan mbok Binah. Tahun depan Ratri telah berencana memasukkan si kecil ke taman bermain walau masih dalam asuhan mbok Binah, bagaimanapun pendidikan untuk Nakula adalah prioritas utama bagi Ratri. Semoga ia mampu membesarkan dan mendidik Nakula hingga berhasil walau tanpa didampingi suaminya lagi. Hanya itu doa yang hampir setiap hari ia ucapkan dalam hati ketika ia melewati jalanan menuju SMA BINA MORAL BANGSA tempatnya mengajar.
Sampai di sekolah, Ratri memarkirkan motornya di tempat biasa. Ia melihat beberapa motor telah rapi berjajar di sana, terlihat mencolok sekali perbedaan tahun pembuatan motor Bu Ratri dengan guru maupun karyawan lainnya diantaranya motor milik Bu Puji guru kimia, motor milik Pak Busro guru agama yang merangkap menjadi waka kesiswaan, Pak Adi staf TU, serta motor beberapa guru lain, motor kepunyaan bu Ratri pemegang rekor umur tertua. Bergegas Ratri menuju kantor guru, ia tergesa karena merasa telah ditunggu rekan-rekannya. Sampai di kantor, ia melihat Bu Puji yang sedang menata kardus makan pagi untuk pengawas ujian dari sekolah lain.
“Bu Puji, ada yang bisa saya bantu Bu?” begitu Ratri menegur guru ramah yang tempat duduknya persis di depan meja Ratri.
“eeeh...Bu Ratri sudah berangkat....sudah bu, saya sudah selesai menyiapkan makan pagi untuk panitia dan pengawas luar kok bu, hanya tinggal menunggu teh manis dari pak Karjo saja kok Bu” Bu Puji menjawab seraya melemparkan senyum.
“Bu...teman-teman yang lain ke mana Bu?”
“ Itu pak Busro sama pak Adi pegawai TU kan mengambil soal ujian di sub rayon Bu. Kalau Mas Pri sama Bu Hesti tadi saya mintai tolong membelikan air galon Bu”
“ Bu, kalau pak Jumiko sudah berangkat? ”
“ lho kan kepala sekolah ikut mendampingi pengambilan soal ujian bu...tadi juga naik mobil pak Jumiko bu”
“ saya dapat tugas apa ya bu dari pak Jumiko kok saya dimintai tolong berangkat pagi-pagi...padahal saya bukan termasuk panitia ujian Bu”
“oh, kalau itu sih nanti saja menunggu pak Jumiko Bu... saya nggak tahu Bu. Paling sebentar lagi beliau juga sampai Bu.”
Begitu saja percakapan yang berlangsung dengan Bu Puji tadi.
***
Jam dinding yang berdetak perlahan di ruang perpustakaan yang sepi itu jarum panjangnya telah menunjuk ke angka lima sedangkan jarum pendeknya ada di antara angka enam dan tujuh, ujian nasional masih satu jam lagi baru dimulai. Ratri tertegun sejenak sambil memegang soal ujian nasional mapel bahasa inggris yang baru saja ia kerjakan tak sampai satu jam saja. Ia ragu menyerahkan jawaban yang telah ia tuliskan pada sobekan-sobekan kertas kecil yang sejam lalu di berikan oleh pak Jumiko kepadanya. Ia tak tahu, ia bingung dan ia tak mengerti. Ia tak tahu dari mana pak Jumiko mendapatkan soal ujian nasional yang jelas-jelas akan diujikan pada siswanya jam setengah delapan nanti. Ia bingung kenapa ia hanya mengangguk saja tanpa berani banyak bertanya ketika ia diminta oleh pak Jumiko mengerjakan dan menuliskan jawaban soal-soal itu. Ia tak mengerti apakah ini sebuah perjuangan yang harus ia lakukan agar siswanya bisa lulus ujian, seperti yang diucapkan oleh pak Jumiko waktu itu.
Ratri bergegas menghidupkan motornya keluar dari halaman sekolah sebelum siswa dan pengawas ujian berdatangan ke sekolahnya. Seperti yang telah diinstruksikan oleh pak Jumiko pagi ini, ia telah menyelesaikan semua tugas dan menyerahkannya pada pak Adi. Selesai sudah. Walaupun sepanjang perjalanan pulang, ia masih menyimpan banyak tanya yang jawabannya tak ia temukan sampai sekarangpun. Ia hanya ingin secepatnya sampai di rumah dan memeluk Nakula-nya.
***
Hari itu telah tiba. Pengumuman kelulusan siswa di mana Ratri mengajar. Hari itu semua warga sekolah ini bersuka cita karena sekolah ini seluruh siswanya lulus dengan nilai yang baik. Ratri juga harusnya bersuka cita. Tapi entah mengapa Ratri tak kuasa membohongi nuraninya yang menangis. Di sisi lain ia melihat wajah-wajah bahagia siswanya, namun di sisi lainya ia merasa bersalah telah ikut menciptakan wajah-wajah bahagia itu. Entahlah. Mau dibawa ke mana bangsa ini, mau dibawa ke mana mereka. Betapa sulitnya mempertahankan sebuah kejujuran. Betapa sulitnya mengajari mereka sebuah kejujuran. mau jadi apakah mereka jika sedini ini mereka sudah diajari kebijaksanaan yang berpihak pada kepentingan pribadi yang dilakukan secara berjamaah.
Ratri Suryana Pertiwi seorang GTT atau sering diplesetkan Guru Tak Tentram di sebuah sekolah kecil yang mana sekolahan ini berusaha bertahan dengan sejumlah siswanya yang dibutuhkan demi berlangsungnya kehidupan sekolah ini, kehidupan semua yang bekerja di sekolah ini, kehidupan seorang Ratri yang harus berjuang menghidupi anaknya seorang diri. Ratri Suryana Pertiwi, seolah nama yang diberikan oleh orang tuanya itu, untuk kali ini nama itu tak bisa membuatnya bangga. Ratri Suryana Pertiwi, seorang wanita yang diharapkan bisa menerangi bangsa ini menerangi bumi pertiwi. Akan tetapi nama itu dirasanya terlalu berat ia sandang. Berat dirasakannya ketika ia harus memilih mempertahankan idealismenya atau memberi kebijaksanaan atas semua kesalahan yang dianggap wajar dan akan berlangsung berulang-ulang demi mempertahankan kehidupan Nakula-nya. Entahlah.
***
Ratri masih menimang-nimang amplop cokelatnya, lamunannya tentang uang dalam amplop cokelat itu seketika buyar ketika ia mendengar Nakula menangis di kamar. Ia letakkan amplop cokelat berisikan uang yang nominalnya hampir menyamai gajinya sebulan itu. Bergegas ia menggendong Nakula yang terbangun dari mimpi indahnya di siang itu, Nakula meminta minum susu dengan suara cadelnya. Ratri menuju dapur dan melihat persediaan susu anaknya telah habis. Apa daya ini akhir bulan dan uang di dompetnya hanya tinggal lembaran-lembaran bergambar pahlawan Pattimura. Ratri melirik amplop cokelat di meja hatinya berteriak menyuruh dengan keras untuk mengembalikan saja upah kotor itu pada tuannya, sejenak suara hati itu sayup hampir tak terdengar terredam oleh suara tangis Nakula, tak tahan melihat buah hatinya menangis sekencang-kencangnya, ia akhirnya membawa isi amplop vakasi menuju toko untuk membelikan susu Nakula.
***
No comments:
Post a Comment